Jakarta, CNN Indonesia —
Kenaikan harga gula mulai terasa imbasnya dua hari belakangan. Meskipun bukan jenis kebutuhan pokok utama bagi sebagian rumah tangga Indonesia, tetap saja kenaikan harga gula di tingkat konsumen yang mencapai Rp17.500 ini cukup berdampak bagi masyarakat.
Dampak paling terasa misalnya bagi Arianto (27) salah satu penjual burger di kawasan Kertanegara, Jakarta Selatan. Selain burger. Arianto juga menjual aneka minuman seperti kopi kekinian hingga berbagai jenis teh sebagai pendamping burger dan kentang yang dia jual.
Dia mengaku bingung jika gula naik, maka rasa minuman yang dia jajakan pasti akan terdampak.
“Kita itu ya pakai gula pasir untuk minuman kaya teh itu, biasanya kita racik si gulanya ini biar jadi cair. Karena memang kita buat sendiri. Tapi kalau harga naik gini kan repot,” kata Arianto berbincang dengan CNNIndonesia.com, Sabtu (20/4).
Dia pun mengaku bingung jika gula tak kunjung turun hingga Mei mendatang. Sebab mau tidak mau minuman yang dia jajakan pasti kualitas rasanya akan berkurang.
“Ya maunya sih harganya normal lagi, tapi pas baca-baca berita katanya ini sampai akhir Mei,” kata dia.
Ternyata dampak harga gula yang naik ini juga tidak hanya dirasakan oleh Arianto. Nisya (32) seorang ibu rumah tangga juga merasakan hal serupa.
Gula bagi Nisya dan keluarga sama pentingnya dengan kebutuhan pokok lain. Bisa untuk memasak, pemanis kopi atau minuman lain dan berbagai makanan yang kerap dia buat di rumah.
“Kalau harganya naik gini, ya bikin kopi buat suami gak pakai gula dong. Padahal suami sukanya kopi yang manis, bukan yang pahit,” kata dia.
Bagi Nisya, kenaikan harga gula ini sama memusingkannya dengan harga beras yang juga sempat naik di awal 2024 kemarin. Sebab, gula juga sama-sama merupakan kebutuhan dapur yang harus tersedia setiap bulan.
Dalam satu bulan Nisya biasanya membeli gula pasir 1-2 kg. Dulu harganya ada di kisaran Rp10.000 hingga Rp12.000, tapi sekarang harganya mencapai Rp17.500.
“Bahkan di warung dekat rumah kemarin banget saya belisudah Rp18.000, kan mahal banget,” katanya.
Jika Nisya yang seorang ibu rumah tangga dan Arianto yang seorang pedangan makanan merasa ‘tersiksa’ dengan kenaikan harga gula, lain cerita dengan Tari (29). Tari yang merupakan pegawai swasta dan sudah berumah tangga mengaku tidak merasa terlalu menerima dampak dari kenaikan gula ini.
“Engga sih, biasa aja. Kalau pas beras ya dulu kerasa banget, tapi kalau gula biasa aja sih,” ucapnya.
Alasannya, gula bagi Tari bukan kebutuhan pokok yang mendesak. Dia juga mengaku tidak banyak menyetok gula di rumah karena memang sudah mengurangi konsumsi gula sejak lama.
Jika membuat minuman seperti kopi atau teh, biasnaya Tari memilih yang tidak pakai gula. Memasak juga kadang Tari tidak pakai gula.
“Kebetulan memang mengurangi gula, jadi kalau gula harganya segitu (Rp17.500) aku fine aja sih, karena ya jarang beli juga,” ujar dia.
(tst/wiw)